Ulasan Drama Sekedar Imajinasi

 

Sekadar Imajinasi : Buah Pelarian Sang Koruptor

Riska Utami

(https://www.youtube.com/watch?v=bu07lRepSN8)

Gerbang Pembuka

Bagaimana rasanya menjadi seorang koruptor? Apakah hidup dengan nyaman karena semua hal secara materi akan mudah didapatkan atau malah dihantui rasa bersalah karena merugikan banyak pihak. Dalam teater yang dipersembahkan oleh komunitas Teater Koma ini, saya dapat memahami bahwasannya para koruptor tidak melulu hidup dengan tenang dan bahagia. Melainkan, terdapat gangguan kejiwaan yang bisa saja dialami oleh mereka karena perbuatan korupsi.

Pagelaran teater dengan judul Sekadar Imajinasi –karya dan sutradara Rangga Riantiarno– merupakan pertunjukan teater dari Teater Koma yang baru pertama kali saya tonton. Saya hanya mengetahui nama besar Teater Koma tetapi belum pernah menikmati karya-karya yang mereka tampilkan (berdosa sekali memang saya hahaha). Akan tetapi, first impression saya terhadap karya mereka sangat baik dan memang pantas Teater Koma memiliki nama yang besar. Sepuluh jempol untuk mereka.

Di sini saya tidak akan membahas alur mereka secara gamblang dari awal hingga akhir karena rasanya bagi saya sangat tidak sopan apabila saya menceritakan tiap alur yang ada di dalam pertunjukkan teater Sekadar Imajinasi ini. Biar tulisan saya ini menjadi gerbang pembuka rasa penasaran bagi para pembaca agar dapat menyaksikan pertunjukkan ini secara langsung, dan sekaligus mengapresiasi komunitas Teater Koma. Oke, mari kita buka gerbangnya!

 

Sebuah Satire

Jujur, saya tidak mengira kalau isi dari teater ini mengarah kepada seorang koruptor yang frustasi. Hipotesa awal saya dalam frame awal yang memperlihatkan ruang persidangan, saya lebih mengira akan ada sebuah sindiran terhadap hukum Indonesia yang bobrok, dan terbesit di benak saya akan cerpen Hakim Sarmin. Saya juga mengira bahwa tema yang diusung adalah dalam bentuk postmodernism terhadap masa depan dari korban pandemi atau kata sederhana dan secara pengertian pragmatis adalah meramal kejadian masa depan.

Akan tetapi, ketika alur cerita memasuki frame kedua, saya baru menyadari bahwa yang disidang sebelumnya adalah seorang koruptor. Usut punya usut, terdakwa yang di frame awal ternyata mengorupsi dana bantuan sosial sebesar satu trilyun di kala pandemi (sudah tidak asing lagi bukan? Hahaha). Ya, teater ini memiliki latar permasalahan seorang yang korupsi dana bantuan sosial di kala pandemi, persis seperti yang terjadi di negeri kita ini.

Aleksander Sonny Keraf berkata bahwa satire merupakan bentuk ungkapan menertawakan atau menolak sesuatu agar bertujuan memperbaiki hal etis maupun estetis di masa yang akan datang. Menurut saya, pertunjukkan teater ini berhasil menyindir terhadap masalah yang terjadi di masa pandemi saat ini karena konteks inti permasalahan yang related. Belum lagi, dampak yang disebabkan oleh hasil koruptor dari tokoh terdakwa ialah menjadi gila dan menyesal karena perbuatan korupsi –walaupun kita tidak tahu apakah Juliari Peter Batubara menyesal dan dihantui rasa bersalah karena korupsi dana bantuan sosial. Hal itu juga menjadi sebuah imbauan terhadap seseorang yang ingin melakukan upaya korupsi dalam jenjang dan tingkatan apa pun. Karena sejatinya perilaku korupsi hanya akan membuat pelaku merasa dihantui rasa bersalah seumur hidupnya.

 

Komentar